Pelecehan Verbal: Kekerasan Modern yang Dibungkus dengan Tawa

(Oleh Intan Insyani dan Ade Khoirina)
Pelecehan verbal adalah kejahatan yang tumbuh subur di tengah budaya kita-diam-diam, tapi masif. la tidak datang dengan ancaman fisik atau pukulan yang meninggalkan bekas, tetapi justru menghancurkan dari dalam. Lebih parah lagi, ia sering kali dibungkus dalam candaan, kritik, atau bahkan dianggap sebagai bentuk perhatian.

Di ruang publik, di tempat kerja, hingga di media sosial, pelecehan verbal menyusup ke dalam kehidupan kita dengan cara yang begitu halus, hingga banyak dari kita gagal mengenalinya. "Kok gendut banget sekarang?", "Jadi perempuan kok nggak bisa masak?", atau "Kamu terlalu feminis, nggak heran jomblo!"-frasa-frasa ini bersembunyi di balik topeng humor, padahal sejatinya adalah tamparan verbal yang mempermalukan, merendahkan, dan melukai.

Yang membuatnya jauh lebih berbahaya adalah budaya kita yang permisif. Ketika seorang korban melawan atau mengungkapkan ketidaknyamanannya, respons yang muncul sering kali adalah, "Jangan terlalu baper," atau "Itu kan cuma bercanda." Dalam satu kalimat, rasa sakit korban dihapuskan, dan tanggung jawab pelaku pun lenyap. Budaya ini tidak hanya membela pelaku, tetapi juga menciptakan ruang yang aman bagi kekerasan verbal untuk terus hidup.

Namun, mari kita bicara fakta. Pelecehan verbal bukanlah masalah yang bisa dianggap remeh. Penelitian menunjukkan bahwa kata-kata memiliki dampak psikologis yang sangat nyata. Pelecehan verbal yang terus-menerus dapat memicu gangguan kecemasan, depresi, hingga trauma jangka panjang. Kata-kata, meski tidak kasatmata, memiliki kekuatan destruktif yang setara dengan kekerasan fisik.

Ironisnya, di era yang mengaku modern ini, pelecehan verbal justru semakin menjadi-jadi. Media sosial memberikan ruang tak terbatas bagi pelaku untuk menyerang tanpa konsekuensi. Kolom komentar penuh dengan body shaming, ujaran kebencian, dan candaan seksis. Dengan satu klik, pelaku bisa menyakiti ribuan orang.

Jadi, siapa yang salah? Kita semua. Kita yang diam ketika pelecehan terjadi. Kita yang tertawa mendengar candaan seksis. Kita yang menganggap ini bukan masalah besar. Kita yang membiarkan budaya ini terus berakar.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Pertama, akui bahwa pelecehan verbal adalah bentuk kekerasan. Kedua, hentikan normalisasi kata-kata yang merendahkan dengan alasan humor. Ketiga, tegur pelaku-baik di dunia nyata maupun di media sosial. Dan terakhir, dorong diskusi kritis di ruang-ruang publik tentang pentingnya komunikasi yang sehat.

Kita hidup di zaman di mana keadilan dan kesetaraan terus diperjuangkan. Namun, perjuangan itu tidak akan pernah lengkap jika kita masih membiarkan kata-kata menjadi senjata untuk menyakiti. Sudah saatnya kita berhenti tertawa di atas luka orang lain. Pelecehan verbal bukan candaan, bukan kebebasan berekspresi. la adalah kejahatan yang harus kita lawan bersama.

Comments

Popular posts from this blog

Autothermix dan Recycle PET: Solusi Atasi Sampah Tanpa Masalah

Israel Tahan Kapal Bantuan: Kemanusiaan atau Kepentingan Politik?