Brain Rot: Ketika Otak Tak Lagi Sabar Membaca
(Oleh Habsah Febiyanti Saragih dan Fikri Ramadhan Tambak)
Medan, Juni 2025—Di era digital yang serba cepat, satu hal yang semakin sulit dilakukan oleh banyak orang adalah duduk tenang dan membaca. Bukan karena waktu yang semakin sempit, melainkan karena otak kita telah dibentuk oleh kebiasaan baru: menikmati informasi yang cepat, singkat, dan sering kali tanpa makna mendalam. Fenomena ini dikenal dengan istilah brain rot, sebuah istilah populer yang menggambarkan bagaimana otak “membusuk” akibat terbiasa dengan konten instan. Akibatnya, minat baca mengalami penurunan drastis, terutama di kalangan generasi muda.
Istilah brain rot memang bukan istilah ilmiah resmi, namun sangat tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Setiap hari, otak kita disuguhi video pendek TikTok, meme lucu, hingga potongan berita bombastis yang viral di media sosial. Konten-konten ini memang menghibur dan mudah dicerna, tetapi jarang menantang intelektual.
Menurut Dr. Maryanne Wolf, pakar literasi kognitif dari UCLA, kebiasaan membaca cepat dan instan di layar gawai dapat melemahkan “deep reading circuit”. Sirkuit otak yang penting untuk berpikir kritis, reflektif, dan empatik. Akibatnya, kita mungkin bisa membaca sepuluh paragraf, tetapi tidak benar-benar memahami satu pun. Otak kita terbiasa untuk “melompat” dari satu informasi ke informasi lain, tanpa sempat mencerna secara mendalam.
Fenomena brain rot dapat kita lihat dengan jelas melalui maraknya konten “Tung-tung Sahur”. Konten absurd dan viral yang sering kali tidak memiliki pesan yang jelas, namun sangat menghibur dan mudah diterima. Konten seperti ini bukanlah masalah utama, melainkan simbol dari perubahan drastis dalam cara kita mengonsumsi informasi.
Generasi digital kini lebih familiar dengan suara “Tung-tung sahur” yang viral di media sosial daripada nama-nama penulis buku nasional. Otak kita terbiasa dengan gratifikasi instan yang cepat dan ringan, sehingga membaca buku yang membutuhkan waktu dan konsentrasi terasa membosankan dan melelahkan. Padahal, membaca buku bukan sekadar mencari informasi, melainkan proses membangun karakter, memperluas imajinasi, dan mengasah kemampuan berpikir kritis yang mendalam.
Peralihan dari bacaan panjang ke konten singkat ini menunjukkan bagaimana otak kita mulai kehilangan kesabaran dan ketahanan untuk menyerap informasi kompleks. Ini adalah tanda nyata bahwa brain rot telah merasuk ke dalam kebiasaan sehari-hari kita.
Data UNESCO menyebutkan, minat baca masyarakat Indonesia masih berada di peringkat bawah secara global. Sebuah riset dari Central Connecticut State University (2016) bahkan menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal literasi. Ironisnya, pengguna internet di Indonesia adalah salah satu yang paling aktif di dunia. Artinya, bukan karena kita tidak punya akses ke informasi, tetapi karena kita lebih memilih hiburan visual daripada bacaan mendalam.
Menurut survei We Are Social (2024), rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam sehari di internet, namun hanya sebagian kecil waktu yang digunakan untuk membaca berita atau buku. Sisanya? Tersedot ke media sosial, video pendek, dan hiburan visual lain.
Brain rot tidak hanya berdampak pada menurunnya minat baca, tetapi juga pada kualitas berpikir. Ketika otak terbiasa dengan informasi instan, kemampuan untuk fokus, menganalisis, dan berpikir kritis perlahan memudar. Kita menjadi mudah teralihkan, cenderung reaktif, dan sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana yang hoaks.
Dampak jangka panjangnya bisa sangat serius: generasi muda kehilangan kemampuan untuk memahami bacaan kompleks, menulis dengan baik, bahkan berdiskusi secara logis dan argumentatif. Jika dibiarkan, brain rot bisa menjadi ancaman nyata bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
Mengatasi brain rot memang bukan perkara mudah, tetapi bukan pula hal yang mustahil. Kuncinya adalah membangun kembali kebiasaan dan kemampuan otak untuk menikmati bacaan yang lebih dalam dan bermakna. Berikut beberapa langkah yang dapat kita lakukan bersama:
- Mulailah dengan kebiasaan kecil: membaca 10-15 menit setiap hari bisa menjadi fondasi yang kuat. Pilih bacaan yang menarik dan relevan agar proses ini terasa menyenangkan, bukan beban.
- Batasi konsumsi konten instan yang bersifat hiburan semata tanpa nilai tambah. Alihkan waktu tersebut untuk membaca artikel, buku, atau esai yang menantang pemikiran.
- Tingkatkan literasi digital dengan mengajarkan cara memilah dan memilih informasi yang berkualitas di tengah banjir konten online. Literasi ini penting agar kita tidak terjebak pada informasi dangkal dan hoaks.
- Peran sekolah dan keluarga sangat krusial dalam menanamkan cinta membaca sejak dini. Guru dan orang tua harus menjadi teladan dan menyediakan lingkungan yang mendukung budaya literasi.
- Manfaatkan teknologi sebagai alat bantu, bukan pengalih perhatian. Misalnya, gunakan aplikasi baca digital, podcast edukatif, atau komunitas baca online untuk memperkaya pengalaman literasi.
Dengan langkah-langkah ini, kita tidak hanya melawan brain rot, tetapi juga membangun generasi yang mampu berpikir kritis, reflektif, dan kreatif, Kunci sukses di era informasi yang kompleks.
Beberapa komunitas dan gerakan literasi di Indonesia juga mengambil andil dengan mulai mengkampanyekan pentingnya membaca di era digital. Misalnya, program Gerakan Literasi Sekolah dari Kemendikbud, atau komunitas Goodreads Indonesia yang rutin mengadakan diskusi buku. Di media sosial, tagar #BacaBiarGakBrainrot mulai ramai digunakan untuk mengingatkan pentingnya membaca secara mendalam.
Jadi, brain rot bukan sekadar istilah lucu yang viral di internet. Ia adalah sinyal bahaya bahwa generasi kita mulai kehilangan kemampuan paling dasar dalam peradaban: membaca, memahami, dan berpikir kritis. Jika kita tak segera berbenah, bukan tak mungkin masa depan kita dikuasai oleh generasi yang mampu menonton ribuan video dalam sehari, tapi gagal menyelesaikan satu bab buku.
Maka sebelum otak kita benar-benar “membusuk”, mari biasakan kembali membaca. Bukan hanya demi pengetahuan, tapi juga demi masa depan bangsa.
Comments
Post a Comment