Kebijakan Barak Militer Dedi Mulyadi : Mendidik atau Menghukum
Oleh : Febriyanti Br. Pasaribu dan Tri Sugiono
Medan, 26 Juni 2025—Pro Kontra Melanda Program Pendidikan Karakter Ala Gubernur Jabar
Kebijakan kontroversial Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk mengirim siswa bermasalah ke barak militer menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Program yang mulai diterapkan sejak 2 Mei 2025 ini mempertanyakan esensi pendidikan: apakah ini bentuk pembinaan karakter ataukah sekadar hukuman militeristik?
Melalui Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 43/PK.03.04/Kesra, Dedi Mulyadi meluncurkan program "Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara" yang menyasar peserta didik dengan perilaku khusus. Kriteria siswa yang akan dikirim ke barak militer mencakup pelaku tawuran, perokok aktif, pemabuk, hingga pengguna knalpot brong.
Program yang awalnya ditujukan untuk siswa bermasalah kini diperluas hingga mencakup orang dewasa. Mulai Juni 2025, preman, pemabuk, dan individu yang dinilai mengganggu investasi juga akan menjalani pembinaan serupa di fasilitas TNI dan Polri.
Sebanyak 39 siswa tingkat SMP telah mengikuti program pembinaan di Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Artileri Medan 9, Purwakarta. Mereka menjalani aktivitas pendisiplinan dengan pendekatan militer yang bertujuan membentuk karakter dan kedisiplinan.
Gubernur yang akrab disapa Kang Dedi ini meyakini program tersebut dapat menjadi solusi efektif mengatasi kenakalan remaja dan perilaku antisosial di Jawa Barat. Ia berargumen bahwa pendekatan disiplin militer diperlukan untuk membentuk mental dan karakter yang kuat.
Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Para pengamat pendidikan menilai program barak militer sebagai "kebijakan putus asa" yang mencerminkan ketidakmampuan sistem pendidikan konvensional dalam menangani anak bermasalah.
Kritikus berpendapat bahwa mengirim anak-anak ke barak militer adalah bentuk pelimpahan tanggung jawab pendidikan kepada institusi militer. Mereka mempertanyakan efektivitas dan dampak psikologis jangka panjang dari metode ini terhadap perkembangan mental anak.
Kekhawatiran lain muncul terkait potensi pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak anak untuk mendapat pendidikan yang layak dan perlakuan yang manusiawi. Beberapa aktivis HAM mendesak penghentian program ini karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan anak.
Kontroversi program barak militer ini mencerminkan dilema pendidikan modern dalam menghadapi krisis moral dan kenakalan remaja. Di satu sisi, diperlukan terobosan untuk mengatasi masalah perilaku anak yang semakin kompleks. Di sisi lain, pendekatan yang dipilih harus tetap menghormati hak-hak anak dan prinsip-prinsip pedagogis yang sehat.
Para ahli pendidikan menyarankan agar pembinaan karakter dilakukan melalui pendekatan yang lebih holistik, melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam proses yang berkelanjutan. Mereka menekankan pentingnya metode pembinaan yang tidak traumatis namun tetap efektif dalam membentuk karakter.
Kebijakan Dedi Mulyadi telah membuka perdebatan publik yang lebih luas tentang sistem pendidikan dan pembinaan karakter di Indonesia. Masyarakat kini dihadapkan pada pertanyaan fundamental: apakah pendekatan militeristik adalah solusi tepat untuk mengatasi kenakalan remaja?
Evaluasi mendalam terhadap efektivitas program ini diperlukan untuk menilai apakah tujuan mendidik tercapai tanpa mengorbankan aspek psikologis dan hak-hak anak. Pemerintah daerah juga perlu mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan kebijakan yang sedang berjalan.
Ke depan, tantangan utama adalah menemukan keseimbangan antara pembinaan disiplin yang tegas dengan pendekatan pendidikan yang humanis dan berkelanjutan. Hanya dengan cara ini, tujuan mulia membentuk generasi berkarakter dapat tercapai tanpa menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan.
Comments
Post a Comment