Raja Ampat dan Ancaman Tambang: Ketika Surga Dihargai dengan Biji Nikel

(Oleh Nurhasanah dan Patimah Nurun)
Raja Ampat, wilayah yang dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut paling kaya di dunia, saat ini berada di ambang ancaman besar. Bukan karena bencana alam atau perubahan iklim, melainkan karena ulah manusia: aktivitas pertambangan nikel yang kini tengah menjadi kontroversi nasional. Viral di media sosial, kasus ini menyulut gelombang kritik terhadap pemerintah dan menjadi simbol perlawanan antara ekonomi ekstraktif dan pelestarian lingkungan.

Ekspansi Tambang di Surga Laut
Raja Ampat adalah harta karun ekologis yang tak ternilai. Dengan 1.500 pulau kecil dan lebih dari 1.300 spesies ikan serta 75% spesies karang dunia, wilayah ini menjadi magnet wisatawan, ilmuwan, dan aktivis lingkungan. Namun pada pertengahan tahun 2025, publik dikejutkan dengan munculnya informasi bahwa pemerintah melalui Kementerian Investasi dan ESDM mengizinkan lima perusahaan tambang untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi nikel di wilayah tersebut.

Yang paling disorot adalah operasi tambang di Pulau Gag, bagian dari kawasan Geopark Raja Ampat yang telah diakui oleh UNESCO. Masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan warganet memprotes keras kebijakan ini karena dikhawatirkan merusak ekosistem yang sangat sensitif. Video aksi protes warga saat kedatangan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia di Sorong—yang diwarnai teriakan “penipu!”—pun viral, membuat isu ini menyedot perhatian nasional.

Antara Investasi dan Konservasi
Pemerintah berdalih bahwa proyek tambang di Pulau Gag telah melalui kajian lingkungan dan berada di luar zona konservasi inti. Menteri Bahlil menyatakan bahwa dari lima izin, empat telah dicabut dan hanya satu yang masih aktif karena berada di luar kawasan Geopark. Namun, publik skeptis. Kecemasan utama adalah dampak tidak langsung tambang terhadap ekosistem laut, serta potensi perluasan izin di masa depan.
Apalagi, pengalaman dari banyak daerah lain menunjukkan bahwa ketika tambang masuk, kerusakan lingkungan seringkali tidak bisa dikendalikan. Dari hilangnya hutan primer, rusaknya daerah tangkapan air, hingga tercemarnya laut akibat sedimen dan limbah logam berat. Hal ini bukan sekadar kekhawatiran teoritis, tetapi ancaman nyata yang bisa membunuh sektor pariwisata berkelanjutan yang telah menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat Raja Ampat.
Ketika Viral Lebih Didengar dari Kajian
Kasus ini juga menunjukkan fenomena baru dalam tata kelola lingkungan di Indonesia: viralitas sebagai instrumen tekanan publik. Sebelum video dan kritik meluas di media sosial, tidak banyak respon berarti dari pemerintah pusat. Namun setelah tagar #SaveRajaAmpat mendominasi percakapan digital, barulah pencabutan izin diumumkan dan kunjungan pejabat digelar.

Ini menunjukkan bahwa kebijakan lingkungan masih lemah dalam perencanaan partisipatif dan transparansi. Masyarakat adat tidak dilibatkan sejak awal, dan kajian publik terhadap izin-izin tambang seringkali minim. Jika suara masyarakat baru dianggap setelah viral, maka sistem demokrasi lingkungan kita sesungguhnya sedang tidak sehat.
Ancaman terhadap Warisan Dunia
Raja Ampat bukan sekadar wilayah administratif Indonesia, tapi juga bagian dari warisan dunia. Dunia internasional telah lama mengakui pentingnya kawasan ini dalam menjaga ekosistem laut global. Jika tambang nikel dibiarkan beroperasi secara masif, bukan hanya Indonesia yang akan kehilangan, tetapi seluruh dunia.

Bayangkan jika keanekaragaman laut Raja Ampat rusak karena ambisi ekonomi sesaat. Pulau-pulau indah akan berubah menjadi lubang tambang, dan karang-karang yang selama ini menjadi rumah ikan pun akan tertutup lumpur dan racun logam berat. Bila ini terjadi, Indonesia akan dikenal bukan sebagai penjaga surga laut, melainkan sebagai perusaknya.

Mencari Jalan Tengah: Ekonomi Hijau dan Keadilan Ekologis
Pemerintah seringkali terjebak dalam dikotomi palsu antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Padahal, sektor pariwisata berbasis konservasi di Raja Ampat telah terbukti menghasilkan keuntungan besar dengan dampak lingkungan minimal. Alih-alih menambang nikel, Indonesia seharusnya mendorong investasi hijau dan teknologi ramah lingkungan yang sejalan dengan komitmen global terhadap perubahan iklim.

Selain itu, keadilan ekologis harus ditegakkan. Masyarakat adat yang selama ini menjaga kelestarian Raja Ampat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Mereka bukan hanya objek pembangunan, tapi subjek yang memiliki hak atas tanah, laut, dan masa depan mereka sendiri.
Kesimpulan: Selamatkan Raja Ampat, Sekarang Juga
Kasus viral tambang nikel di Raja Ampat adalah peringatan keras bahwa Indonesia masih jauh dari paradigma pembangunan berkelanjutan yang sesungguhnya. Pemerintah perlu mengevaluasi secara menyeluruh seluruh izin tambang di wilayah ekosistem kritis, termasuk Raja Ampat, dan menyusun kebijakan konservasi yang partisipatif dan berbasis sains.
Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata, tapi simbol komitmen kita terhadap masa depan bumi. Jika kita gagal menyelamatkannya hari ini, maka sejarah akan mencatat bahwa kita membiarkan surga rusak demi bijih logam yang nilainya tak sebanding dengan kehidupan.

Comments

Popular posts from this blog

Autothermix dan Recycle PET: Solusi Atasi Sampah Tanpa Masalah

Israel Tahan Kapal Bantuan: Kemanusiaan atau Kepentingan Politik?

Pelecehan Verbal: Kekerasan Modern yang Dibungkus dengan Tawa